LUBI HAIRUL
Jumat, 08 November 2013
Apakah yang dimaksud dengan Search Engine?
Kamis, 31 Oktober 2013
media transmisi
Media transmisi adalah media yang
menghubungkan antara pengirim dan penerima informasi (data), karena
jarak yang jauh, maka data terlebih dahulu diubah menjadi kode/isyarat,
dan isyarat inilah yang akan dimanipulasi dengan berbagai macam cara
untuk diubah kembali menjadi data.
Kegunaan Media Transmisi
Media transmisi digunakan pada beberapa peralatan elektronika untuk
menghubungkan antara pengirim dan penerima supaya dapat melakukan
pertukaran data. Beberapa alat elektronika, seperti telepon, komputer,
televisi, dan radio membutuhkan media transmisi untuk dapat menerima
data. Seperti pada pesawat telepon, media transmisi yang digunakan untuk
menghubungkan dua buah telepon adalah kabel. Setiap peralatan
elektronika memiliki media transmisi yang berbeda-beda dalam pengiriman
datanya.
Karakteristik media transmisi ini bergantung pada:
* Jenis alat elektronika
* Data yang digunakan oleh alat elektronika tersebut
* Tingkat keefektifan dalam pengiriman data
* Ukuran data yang dikirimkan
Jenis Media Transmisi
Copper Media
Merupakan media transmisi yang terbuat dari tembaga yang biasa
disebut dengan kabel. Data yang dikirim melalui kabel dalam bentuk
sinyal-sinyal listrik digital. Jenis-jenis kabel transmisi data yang
digunakan pada jaringan antara lain, Coaxial, STP, UTP. a. Kabel Coaxial
Kabel ini sering digunakan sebagai kabel tv, disebut juga sebagai kabel
BNC (Bayonet Naur Connector). Coaxial banyak digunakan pada LAN karena
memiliki perlindungan derau yang bagus, murah , dan mampu mengirim data
dengan kecepatan standar. Ada 3 jenis konektor pada kabel coaxial, yaitu
T-konektor, I-Konekor (socket), dan BNC konektor. Kelebihan : Murah
Jarak jangkauan yang luas Dapat digunakan untuk menyalurkan informasi
sampai dengan 900 kanal telepon Karena menggunakan penutup isolasi maka
kecil kemungkinan terjadi interferensi dengan system lain. Kekurangan :
Instalansi yang rumit Redaman yang relative besar, sehingga untuk
hubungan jauh harus dipasang repeater-repeater. Jika kabel dipasang
diatas tanah, rawan terhadap gangguan-gangguan fisik yang dapat
berakibat putusnya hubungan.
b. Twisted Pair, Terdiri dari 2 jenis :
1. Shielded Twisted Pair (STP) Terdiri dari 4 buah kabel yang dipilin
(twisted pair). Berikut kelebihan dan kekurangan dari STP. Kelebihan :
Tahan terhadap interferensi gelombang eletromagnetik baik dari dalam
maupun dari luar. Memiliki perlindungan dan antisipasi tekukan kabel
Kekurangan : Pada frekuensi tinggi attenuasi meningkat Terjadinya
“crosstalk” dan sinyal “noise” pada frekuensi tinggi Instalansi yang
cukup rumit Jarak jangkauan hanya 100m, dan mahal.
2. Unshielded Twisted Pair (UTP) Ada beberapa kategori untuk kabel
twisted pair, yaitu : Kategori 1 (Cat-1), umumnya menggunakan konduktor
padat standar AWG sebanyak 22 atau 24 pin dengan range impedansi yang
lebar. Digunakan pada koneksi telepon dan tidak direkomendasikan untuk
transmisi data. Kategori 2 (Cat-2), range impedansi yang lebar, sering
digunakan pada sistem PBX dan sistem Alarm. Transmisi data ISDN
menggunakan kabel kategori 2, dengan bandwidth maksimum 1 MBps. Kategori
3 (Cat-3), sering disebut kabel voice grade, menggunakan konduktor
padat sebanyak 22 atau 24 pin dengan impedansi 100 Ω dan berfungsi
hingga 16 MBps. Dapat digunakan untuk jaringan 10BaseT dan Token Ring
dengan bandwidth 4 Mbps. Kategori 4 (Cat-4), seperti kategori 3 dengan
bandwidth 20 MBps, diterapkan pada jaringan Token Ring dengan bandwidth
16 Mbps. Kategori 5 (Cat-5), merupakan kabel Twisted Pair terbaik (data
grade) dengan bandwidth 100 Mbps dan jangkauan transmisi maksimum 100 m.
Kabel UTP mudah dalam penginstalan, murah serta ukurannya yang kecil.
Namun rentan terhadap inteferensi gelombang elektromagnetik dan jarak
jangkauan hanya 100m.
Optical Media
Ada tiga jenis fiber optic yang digunakan, yaitu single mode,
multi mode dan plastic optical fiber yang berfungsi sebagai petunjuk
cahaya dari ujung kabel ke ujung kabel lainnya. Dari transmitter
receiver, yang mengubah pulsa elektronik ke cahaya dan sebaliknya, dalam
bentuk light-emmiting diode ataupun laser. Kabel Fiber Optic single
mode, merupakan jenis transmisi yang dapat mengantarkan data
berkapasistas besar dengan kecepatan tinggi dengan jarak yang jauh, dan
membutuhkan sumber cahaya dengan spectrum yang lebih kecil. 50 kali
lebih cepat dibandingkan dengan multimode dalam mengantarkan transmisi
karena memiliki core yang lebih kecil. Kabel Fiber Optic Multimode,
dapat mengantarkan data berkapasitas besar dengan kecepatan tinggi untuk
jarak menengah. Apabila jarak yang ditempuh melebihi 3000 kaki akan
terjadi distrosi sinyal mengakibatkan pengiriman data tidak akurat.
Plastic Optical Fiber, kabel yang terbuat dari plastic yang tingkat
performa sama dengan fiber glass. Kelebihan : Kemampuan mengirim data
dengan kapastitas yang besar dan jarak yang jauh. Kecepatan transmisi
hingga mencapai gigabits Tingkat keamanan fiber optic yang tinggi Lebih
menghemat tempat, dibandingkan dengan kabel tembaga. Kekurangan :
Harganya yang cukup mahal Penggunaan yang cukup rumit.
Kabel fiber optic terdiri dari 2, satu berungsi untuk Transmit(Tx) dan
satunya untuk Receive(Rx). Sehingga terjadi komunikasi 2 arah secara
bersama-sama. ST untuk singlemode dan SC untuk multimode.
Infra Merah
Infrared adalah generasi pertama dari teknologi koneksi
nirkabel yang digunakan untuk perangkat mobile. InfraRed sendiri,
merupakan sebuah radiasi gelombang elektromagnetis dengan panjang
gelombang lebih panjang dari gelombang merah, namun lebih pendek dari
gelombang radio, yakni 0,7 mikro m sampai dengan 1 milimeter. Infrared
pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh Sir William Herschell
(1738-1822), astronom kerajaan Inggris ketika ia sedang mengadakan
penelitian mencari bahan penyaring optik yang akan digunakan untuk
mengurangi kecerahan gambar matahari dalam tata surya. Sinar infra merah
memiliki jangkauan frekuensi 1011 Hz sampai 1014 Hz atau daerah panjang
gelombang 10-4 cm. Infrared sebagai sebuah medium penghantar data, juga
memiliki badan yang mengaturnya. Sesuai dengan yang telah ditetapkan
oleh konsorsium Infrared Data Association (IrDA), sinar infrared dari
Light Emitting Diode (LED) memiliki panjang gelombang sekitar 875 nm.
Hingga kini memiliki dua versi yaitu Versi 1.0 dan 1.1.Standar dari IrDA
adalah kedua versi dari infrared hanya terletak pada jumlah data yang
dapat ditransfer dalam satu paket.
Versi 1.0 dari infrared memiliki kecepatan dari 2,4
hingga 115,2 Kbps. Sementara versi 2.0 memiliki kecepatan dari 0,576
hingga 1,152 Mbps. Infrared memiliki dua kecepatan karena struktur
pengiriman data pada interkoneksi ini cukup unik. Untuk menghindari
terjadinya perpindahan data apabila koneksi sudah putus dan semacamnya,
maka pertama kali protokol infrared akan mengirimkan “sinyal tes” dengan
kecepatan sinyal yang rendah. Dengan tes ini, bila kondisi sudah
sesuai, maka kecepatan penuh digunakan dalam transfer data. Hal ini
tentu berpengaruh pada penghematan daya. Proses koneksi infrared bekerja
dengan cara yang sangat sederhana. Ketika terjadi pertemuan di antara
dua buah device dengan interkoneksi tersebut, maka akan terjadi sebuah
pengenalan secara anonim diantara kedua device tersebut. Pengenalan ini
kemudian berlanjut ke arah yang lebih dalam lagi di mana kedua device
tersebut meyetujui untuk memberi “nama sementara” pada masing-masing
device sehingga protokol infrared mengenali kedua belah pihak dan
melakukan transfer data atau untuk sekedar mempertahankan koneksi hingga
perintah terakhir dijalankan. Tentunya hal ini memudahkan koneksi untuk
device dengan interkoneksi infrared karena tidak diperlukannya proses
pairing yang merepotkan.
Infrared menggunakan teknik pemancaran gelombang pulse
modulation. Teknik ini digunakan atas dasar bahwa infrared tidak
menggunakan banyak daya sehingga sinyal cenderung lemah. Meskipun murah
dan mudah digunakan, interkoneksi ini juga memiliki beberapa kekurangan.
Dikarenakan infrared menggunakan sinyal terarah dan bias sinyal yang
didefinisikan IrDA adalah 30 derajat maksimum, maka device dengan
interkoneksi ini harus “bertatap muka” pada jarak yang dekat. Tentunya
bila tidak tersedia tempat yang datar untuk terjadinya kontak fisik
tersebut, maka hal ini akan menjadi kendala besar bila Anda berniat
untuk memindahkan data dalam jumlah yang sangat besar.Kekurangan
terutama terletak pada alat-alat yang mendukung interkoneksi ini.
Infrared adalah teknologi yang cukup tua. Rancangan awalnya mendikte
bahwa perpindahan data terbatas pada kecepatan 115.2 Kbps. Kecepatan ini
sering disebut sebagai kecepatan koneksi Serial. Pengembangan lebih
lanjut dapat terjadi apabila Bluetooth tidak datang dan menawarkan
interkoneksi baru yang tidak memerlukan kedua device harus bertatap
muka. Untuk masalah jarak, IrDA hanya mendefinisikan dua istilah saja,
Low Powered device dan standard IrDA. Low Powered device ini digunakan
pada device yang sangat sensitif terhadap penggunaan daya. Karena
sifatnya yang sangat hemat daya, maka cakupan jarak pada device ini
hanya sekitar 20-30 cm saja. Untuk standar IrDA, infrared dapat mencapai
jarak 1 meter dengan konsumsi daya yang tidak terlalu besar. Akan
tetapi, di luar standar IrDA terdapat juga infrared yang memiliki jarak
yang sangat jauh. Istilah Consumer Level infrared adalah infrared yang
memiliki jarak lebih dari lima meter.
Bluetooth
Teknologi ini dipelopori oleh Ericsson yang saat ini mulai
menggusur dominasi infrared untuk perangkat bergerak(HP, PDA), teknologi
ini sudah dikembangkan oleh sebua konsursium yaitu bluetooth special
Interest Group (SIG). Cakupan Bluetooth bisa mencapai 10 meter dan tidak
terhalang flesibelitas media, berbeda dengan media lainya seperti
infrared atau Wi-Fi, Bluetooth memungkinkan koneksi antar piranti
elektronik apa aja dan bukan hanya computer.Bluetooth dapat dibuat
membentuk PAN atar perangkat seperti computer, HP, PDA Kamera,bar-code
reader, perangkat audio video bahkan sampai perangkat dapur. Bluetooth
bekerja dengan menggunakan signal radio pada frekuensi 2,4 Ghz yang sama
dengan WiFI untuk menghindari interpretensi maka Bluetooth bekerja
dengan cara spread spectrum frequency hopping (SSFH). Pada saat
perangkat Bluetooth akan terkoneksi maka perangkat harus melakukan
hopping sequence agar dapat saling mengenali. Secara teoritis
kecepatannya 1 Mbps, namun kecepatan efektifnya hanya 721 Kbps, ini
untuk standar Bluetooth 1.1, sedangkan untuk standar 1.0 empunyai
kecepatan hanya 420 Kbps Pemakaian Bluetooth sampai saat ini sudah
sangat luas, diantaranya
a. Wireless headset
Dahulu teknologi ini digunakan untuk HP, dimana penggunaan headset
dengan menggunakan Bluetooth dapat mengakses tanpa batas, teknologi ini
memungkinkan pengguna dapat menggunakan fasilitas HPnya walaupun HPnya
berada di dalam tas atau koper.
b. Internet Bridge
Teknologi ini juga memungkinkan HP untuk memanfaatkan kemampuan Dial-Up
Networking yang ada pada PC, memungkinkan kita didalam jaringan PAN
untuk terkoneksi ke internet tanpa menggunakan media kabel jaringan.
Fungsinya hamper sama dengan fasilitas Infrared untuk sebagai media
penghubung ke Internet, namun bedanya perangkat tersebut dapat digunakan
tanpa harus berhadapan.
c. File Exchange
Memungkinkan membentuk sebuah NT tanpa harus dipusingkan dengan setting
domainya terlebih dahulu, misalnya : pada sebuah seminar si pembicara
akan membagikan file presentasinya dan pembicara cukup mengaktifkan
fasilitas Bluetoothnya pada komputernya dan para peserta dapat melakukan
file transfer seizing pemilik dengan otentikasi
d. Sinkronisasi
Bluetooth memungkinkan sinkronisasi antar piranti dari PC, PDA, HP,
sampai dengan peralatan dapur.
Kelemahan buetooth ini Terletak pada caranya mengurus data, secara
teoritis dapat mengkoneksikan 7 perangkat secara langsung, tetapi
manejemen datanya hanya memungkinkan hanya dua perangkat sementara yang
lain menunggu.
Wi-fi
Wi-Fi (Wireless Fidelity) adalah koneksi tanpa kabel seperti
handphone dengan mempergunakan teknologi radio sehingga pemakainya dapat
mentransfer data dengan cepat dan aman. Wi-Fi tidak hanya dapat
digunakan untuk mengakses internet, Wi-Fi juga dapat digunakan untuk
membuat jaringan tanpa kabel di perusahaan. Karena itu banyak orang
mengasosiasikan Wi-Fi dengan “Kebebasan” karena teknologi Wi-Fi
memberikan kebebasan kepada pemakainya untuk mengakses internet atau
mentransfer data dari ruang meeting, kamar hotel, kampus, dan café-café
yang bertanda “Wi-Fi Hot Spot”. Juga salah satu kelebihan dari Wi-Fi
adalah kepraktisan,tidak perlu repot memasang kabel network. Untuk
masalah kecepatan tergantung sinyal yang diperoleh. Wi-Fi (atau Wi-fi,
WiFi, Wifi, wifi) merupakan kependekan dari Wireless Fidelity, memiliki
pengertian yaitu sekumpulan standar yang digunakan untuk Jaringan Lokal
Nirkabel (Wireless Local Area Networks – WLAN) yang didasari pada
spesifikasi IEEE 802.11. Standar terbaru dari spesifikasi 802.11a atau
b, seperti 802.16 g, saat ini sedang dalam penyusunan, spesifikasi
terbaru tersebut menawarkan banyak peningkatan mulai dari luas cakupan
yang lebih jauh hingga kecepatan transfernya.
Awalnya Wi-Fi ditujukan untuk pengunaan perangkat nirkabel dan
Jaringan Area Lokal (LAN), namun saat ini lebih banyak digunakan untuk
mengakses internet. Hal ini memungkinan seseorang dengan komputer dengan
kartu nirkabel (wireless card) atau personal digital assistant (PDA)
untuk terhubung dengan internet dengan menggunakan titik akses (atau
dikenal dengan hotspot) terdekat. Wi-Fi hanya dapat di akses dengan
peralatan Wi-Fi certified Radio seperti komputer, laptop, PDA atau
Cellphone. Untuk Laptop versi terbaru keluaran tahun 2007, sudah
terdapat wifi on board. Bila belum tersedia pemakai dapat menginstall
Wi-Fi PC Cards yang berbentuk kartu di PCMCIA Slot yang terdapat di
laptop atau Wifi USB . Untuk PDA, pemakai dapat menginstall Compact
Flash format Wi-Fi radio di slot yang telah tersedia. Bagi pengguna yang
komputer atau PDA – nya menggunakan Windows XP, hanya dengan
memasangkan kartu ke slot yang tersedia, Windows XP akan dengan
sendirinya mendeteksi area disekitar Anda dan mencari jaringan Wi-Fi
yang terdekat dengan Anda.
Amatlah mudah menemukan tanda apakah peranti tersebut memiliki
fasilitas Wi-Fi, yaitu dengan mencermati logo Wi-Fi CERTIFIED pada
kemasannya. Meskipun Wi-Fi hanya dapat diakses ditempat yang bertandakan
“Wi-Fi Hotspot”, jumlah tempat-tempat umum yang menawarkan “Wi Fi
Hotspot” meningkat secara drastis. Hal ini disebabkan karena dengan
dijadikannya tempat mereka sebagai “Wi-Fi Hotspot” berarti pelanggan
mereka dapat mengakses internet yang artinya memberikan nilai tambah
bagi para pelanggan. Layanan Wi-Fi yang ditawarkan oleh masing-masing
“Hots Spot” pun beragam, ada yang menawarkan akses secara gratis seperti
halnya di executive lounge Bandara, ada yang mengharuskan pemakainya
untuk menjadi pelanggan salah satu ISP yang menawarkan fasilitas Wi-Fi
dan ada juga yang menawarkan kartu pra-bayar. Apapun pilihan Anda untuk
cara mengakses Wi-Fi, yang terpenting adalah dengan adanya Wi-Fi, Anda
dapat bekerja dimana saja dan kapan saja hingga Anda tidak perlu harus
selalu terkurung di ruang kerja Anda untuk menyelesaikan setiap
pekerjaan.
Wi-Fi dirancang berdasarkan spesifikasi IEEE 802.11. Sekarang ini ada
empat variasi dari 802.11, yaitu:
· 802.11a
· 802.11b
· 802.11g
· 802.11n
Spesifikasi b merupakan produk pertama Wi-Fi. Variasi g dan n merupakan
salah satu produk yang memiliki penjualan terbanyak pada 2005.
Kamis, 24 Oktober 2013
SEPAK BOLA
GENERASI emas yang hilang itu telah datang kembali. Ibu Kota Jakarta
bernyanyi-nyanyi, Indonesia kemudian tertawa sambil menari-nari. Begitu
juga dengan hiruk pikuk suporter dan 22 anak bangsa yang larut dalam
kesenangan di bawah atap Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Di berbagai pelosok Indonesia, waktu seakan berputar kembali menuju puluhan tahun lalu. Gambar-gambar Evan Dimas dan kawan-kawan muncul di mana-mana. Wajah mereka kemudian terpampang di seluruh halaman depan surat kabar nasional. Sama seperti ketika Indonesia sukses menjelma menjadi Macan Asia yang fenomenal.
"Sekarang kalian semua bisa menikmati kemenangan ini." Begitu kata pelatih Indra Sjafri seusai membawa timnas U-19 mengalahkan juara bertahan Korea Selatan 3-2 dalam lanjutan kualifikasi Grup G Piala Asia U-19 di SUGBK pada Sabtu (12/10/2013).
Kemenangan itu membawa Indonesia kembali berkesempatan untuk mendulang prestasi yang telah lama mati suri. Setelah sukses meraih gelar Piala AFF U-19 2013, Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia dengan status juara grup dan tidak terkalahkan dari tiga pertandingan yang dilakoninya.
Meskipun ketika itu lawannya adalah Korsel, yang berstatus salah satu raksasa Asia, timnas U-19 tidak gentar. Mereka tetap berusaha untuk berjuang sekuat tenaga dengan diiringi doa ratusan juta rakyat yang masih haus akan prestasi sepak bola. Di mata mereka, semua lawan sama. Di hati mereka, tertanam keinginan teguh untuk menghidupkan kembali gairah penikmat sepak bola Indonesia.
Emas
Pukul 19.15 malam, dengan hati berdebar, sorotan mata Evan Dimas dan kawan-kawan menatap tajam ke arah lapangan. Maklum, meski tuan rumah, Indonesia memang bukan lagi raksasa Asia. Namun, tapak kaki mereka satu per satu tetap melangkah gagah menyusuri lorong pemain dengan diiringi gegap gempita dukungan dari puluhan ribu suporter Indonesia yang sudah memadati SUGBK.
Dua tim kemudian berbaris di dalam lapangan. Lagu nasional Korsel menggema lebih dulu. Giliran Indonesia, seluruh suporter tampak bersemangat menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Di tengah tribun, berkibar bendera Merah Putih raksasa. Para pemain pun dengan khidmat menyanyikan lagu sambil meletakkan tangan di dada.
Begitu peluit dibunyikan wasit Mohammad Amirul Izwan asal Malaysia, para pemain Indonesia seakan menunjukkan kemampuan tersembunyinya. Gebrakan para penggawa skuad Garuda Jaya membuat permainan Korsel sempat dilanda ketegangan, dan Indonesia terlihat sukses membuat sang juara bertahan turun satu kelas.
Menit ke-30, gol! Bukan ke gawang Indonesia, tapi kiper Lee Tae-hui-lah yang merana. Si pencetak gol, Evan Dimas, kemudian berlari gembira ke pojok lapangan sembari mengucapkan syukur di tengah derasnya hujan yang mengguyur Jakarta. Pertandingan semakin sengit di saat Korsel mampu menyamakan kedudukan lewat penalti Seol Tae-su satu menit setelahnya.
Guyuran hujan kemudian seakan membawa berkah bagi para pemain timnas U-19 ketika umpan tarik Maldini Pali diteruskan dengan aksi Evan Dimas yang menendang bola masuk ke gawang Korsel, 2-1 untuk Indonesia di menit ke-49. Euforia tercipta di 10 menit tersisa karena torehan ketiga Evan Dimas serta gol balasan dari Hu Meong-hwon membuat papan skor raksasa di SUGBK terpampang skor 3-2 untuk Indonesia.
Begitu peluit panjang wasit dibunyikan, para pemain Korsel terpana. Penggawa Garuda Jaya berpesta. Rasa haru pun pecah bersamaan dengan histeria puluhan ribu suporter dan jutaan penonton televisi nasional di seluruh pelosok negeri yang tumpah ruah setelah melihat perjuangan para talenta emas sepak bola Indonesia.
Gulita
Di malam itu, perjuangan timnas U-19 kembali membuktikan kepada kita bahwa jutaan anak bangsa dari Sabang hingga Merauke mempunyai potensi dan semangat besar dalam urusan mengangkat harkat martabat negara melalui sepak bola. Potensi yang selama ini terpendam karena berbagai masalah yang menerpa sepak bola Indonesia.
Pertanyaan besar kini, bagaimana nasib para pemain muda timnas U-19 setelah meraih kesuksesan itu? Jangan buru-buru terbuai jika pengurus sepak bola Indonesia berjanji untuk mengamankan talenta muda Indonesia. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat sistem kompetisi di negeri ini dulu yang mencerminkan ulah orang yang seharusnya mengurus sepak bola.
Maklum, berbicara nasib para pemain muda sejatinya tidak pernah lepas dari langkah para pengurus sepak bola itu merancang sistem kompetisi yang sehat dan mumpuni. Selain ukiran prestasi timnas U-19, sudah banyak juga bukti negeri ini telah diberkahi anugerah oleh Tuhan dengan talenta-talenta sepak bola berlimpah.
Teranyar, lihat saja, bagaimana wakil Indonesia di Danone Cup 2013 sukses menduduki peringkat ke delapan dari total 32 peserta. Belum lagi melihat anak-anak muda berjuang mengharumkan nama bangsa di Gothia Cup 2013 yang sukses menempati posisi kedua di level usia U-14.
Masalahnya, mengapa bibit-bibit unggul itu selalu seperti tenggelam jika sudah meninggalkan status kelompok umur untuk beralih ke jenjang senior yang hingga kini masih miskin prestasi?
Sejenak, mari kita tengok kesuksesan para pemain muda Indonesia ketika mampu meraih Piala Asia Yunior pada 1962 serta kegemilangan mereka meraih tiga gelar Piala Pelajar Asia berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.
Prestasi itu kemudian mampu berlanjut ke tingkat senior. Lihat saja bagaimana kehebatan Indonesia diakui oleh lawan-lawannya dalam turnamen Sea Games era 1980 hingga 1990-an. Medali emas turnamen terbesar se-Asia Tenggara itu pada 1987 dan 1991 pun berhasil digenggam tangan.
Sederet nama-nama besar seperti Ramang, Maulwi Saelan, Sutjipto Suntoro, Ronny Paslah, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Hery Kiswanto, Ricky Yacobi, dan sebagainya adalah bukti lainnya bahwa sepak bola Indonesia di level senior pernah ditakuti sejak 1950-an sampai awal 1990-an.
Namun, setelah emas terakhir di Manila, anomali prestasi terus menjamah kondisi sepak bola dalam negeri. Belum lagi, dengan adanya peleburan Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994 yang dianggap seperti jalan pintas, entah disadari atau tidak oleh para pengurus ketika itu, justru telah menimbulkan masalah besar bagi Indonesia.
Mau bukti? Tengoklah kondisi sepak bola Indonesia sejak digulirkannya liga tersebut. Bermula ketika klub-klub Galatama perlahan disingkirkan karena dianggap tidak profesional setelah dinilai gagal membangun basis suporter hingga ketergantungan klub-klub Perserikatan dengan APBD serta pemilihan pengurus-pengurus klub yang umumnya bersifat birokratis dan tidak profesional.
Setelah itu, kompetisi sepak bola Indonesia seakan bertransformasi menjadi ladang basah bagi pihak-pihak yang ingin mengincar keuntungan sesaat. Regulasi kompetisi diubah-ubah sedemikian rupa. Perencanaan keuangan menjadi tidak transparan. Sepak bola pun lebih sering menjadi komoditas politik untuk mendongkrak kepentingan para politisi ketimbang ajang pertarungan sehat di dalam lapangan demi secercah prestasi.
Alhasil, dari berbagai masalah tersebut, praktik pengaturan skor, pembinaan usia muda yang relatif tidak terjamah, pembangunan fasiltas sepak bola seadanya terus mencederai khitah olahraga yang dicintai oleh ratusan juta masyarakat Indonesia ini. Belum lagi, munculnya dugaan praktik korupsi para mafia sepak bola serta pengaruh kepentingan pengusaha-pengusaha besar dalam pusaran konflik para pengurus.
Aroma kepentingan non-sepak bola ini sebenarnya sudah tercium sejak lama. Ketika Indonesia masuk final Piala AFF 2010, misalnya, banyak pihak termasuk partai politik, saling mengklaim sebagai pihak yang berjasa. Ada yang mengundang tim makan bareng sebelum turnamen usai, entah dengan tujuan apa.
Di sisi lain, permasalahan kemudian tak jarang berimbas ke lapangan. Berkelahi, mengumpat wasit, hingga perkelahian antarsuporter adalah potret buram kondisi di kompetisi Indonesia. Secara tidak langsung hal itu pun pada akhirnya bermuara kepada mental para pesepak bola senior Indonesia, yang terkadang untuk latihan fisik saja sudah mengeluh dengan alasan yang mengada-ngada.
Doa
Melihat sejumlah fakta itu, rasanya pantas kita berpikir, di saat negara-negara Asia berlomba-lomba mengukir prestasi dengan kompetisi yang sehat dan mumpuni, Indonesia justru sempat mengalami sebuah kemunduran luar biasa karena ulah para pengurus sepak bola yang sudah mirip politisi ketimbang pamong olahraga sejati.
Prestasi sepak bola puluhan tahun lalu bisa berlanjut karena adanya kebesaran hati sejumlah pengurus yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain yang juga membuat daya juang pemain meningkat. Pengurus rela hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Pengurus juga dapat merancang kompetisi sepak bola ke khitahnya sebagai tempat pengembangan sepak bola akar rumput.
Meskipun kini konflik antarpengurus sudah selesai. Itu belum berarti benang kusut sepak bola Indonesia sudah terurai. Perlu ada kebesaran hati dari para pengurus atau pemangku kepentingan sepak bola untuk membenahi sistem kompetisi yang dapat menjadi wadah para talenta-talenta muda Indonesia berkiprah. Kompetisi sehat yang tidak mengubah arti kata profesional menjadi salah kaprah.
Salah kaprah yang terjadi karena buruknya kualitas kompetisi. Salah kaprah yang tercermin dari masih banyaknya pemain dan pelatih yang tidak digaji. Salah kaprah karena tidak ada upaya memberantas adanya praktik mafia serta membenahi buruknya kinerja perangkat pertandingan PSSI.
Padahal, jika program pembinaan kompetisi mampu menyinergikan perbaikan sejumlah masalah itu dengan fasilitas memadai, pendidikan karakter, dan visi ke depan untuk membenahi level tingkat umur, kebangkitan sepak bola bisa terus diraih. Kebangkitan sejatinya dapat dicapai dengan pembinaan panjang usia muda, bukan dari strategi para pengurus untuk mencari keuntungan pribadi semata.
Kini, anggap saja kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan adalah jawaban Tuhan atas doa ratusan juta masyarakat Indonesia yang sudah sangat lama merindukan prestasi sepak bola. Anggap saja kesuksesan itu juga berasal dari keikhlasan seorang Indra Sjafri yang rela blusukan mencari bakat-bakat terpendam di seluruh pelosok negeri meski terkadang harus merogoh kocek sendiri.
Seluruh pengurus dan pemangku kepentingan sepak bola di negeri ini harus sadar betul, sudah lama sekali rakyat Indonesia tidak merasakan kenikmatan menyaksikan permainan cantik timnas di lapangan. Sudah lama sekali masyarakat tidak merasakan bulu kuduk berdiri melihat anak negeri menegakkan kepala sembari mengibarkan Merah Putih di podium kemenangan sepak bola.
Kerinduan itu memang sudah sedikit terobati dengan hasil peluh keringat generasi emas sepak bola Indonesia yang jatuh dari setiap tubuh para pemain skuad Garuda Jaya. Akan tetapi, semoga saja jerih payah 22 anak bangsa itu dapat dihargai dengan semestinya sehingga kilauan talenta emas mereka tidak kembali meredup di tengah gelap gulitanya kompetisi sepak bola InDONESIA.
Di berbagai pelosok Indonesia, waktu seakan berputar kembali menuju puluhan tahun lalu. Gambar-gambar Evan Dimas dan kawan-kawan muncul di mana-mana. Wajah mereka kemudian terpampang di seluruh halaman depan surat kabar nasional. Sama seperti ketika Indonesia sukses menjelma menjadi Macan Asia yang fenomenal.
"Sekarang kalian semua bisa menikmati kemenangan ini." Begitu kata pelatih Indra Sjafri seusai membawa timnas U-19 mengalahkan juara bertahan Korea Selatan 3-2 dalam lanjutan kualifikasi Grup G Piala Asia U-19 di SUGBK pada Sabtu (12/10/2013).
Kemenangan itu membawa Indonesia kembali berkesempatan untuk mendulang prestasi yang telah lama mati suri. Setelah sukses meraih gelar Piala AFF U-19 2013, Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia dengan status juara grup dan tidak terkalahkan dari tiga pertandingan yang dilakoninya.
Meskipun ketika itu lawannya adalah Korsel, yang berstatus salah satu raksasa Asia, timnas U-19 tidak gentar. Mereka tetap berusaha untuk berjuang sekuat tenaga dengan diiringi doa ratusan juta rakyat yang masih haus akan prestasi sepak bola. Di mata mereka, semua lawan sama. Di hati mereka, tertanam keinginan teguh untuk menghidupkan kembali gairah penikmat sepak bola Indonesia.
Emas
Pukul 19.15 malam, dengan hati berdebar, sorotan mata Evan Dimas dan kawan-kawan menatap tajam ke arah lapangan. Maklum, meski tuan rumah, Indonesia memang bukan lagi raksasa Asia. Namun, tapak kaki mereka satu per satu tetap melangkah gagah menyusuri lorong pemain dengan diiringi gegap gempita dukungan dari puluhan ribu suporter Indonesia yang sudah memadati SUGBK.
Dua tim kemudian berbaris di dalam lapangan. Lagu nasional Korsel menggema lebih dulu. Giliran Indonesia, seluruh suporter tampak bersemangat menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Di tengah tribun, berkibar bendera Merah Putih raksasa. Para pemain pun dengan khidmat menyanyikan lagu sambil meletakkan tangan di dada.
Begitu peluit dibunyikan wasit Mohammad Amirul Izwan asal Malaysia, para pemain Indonesia seakan menunjukkan kemampuan tersembunyinya. Gebrakan para penggawa skuad Garuda Jaya membuat permainan Korsel sempat dilanda ketegangan, dan Indonesia terlihat sukses membuat sang juara bertahan turun satu kelas.
Menit ke-30, gol! Bukan ke gawang Indonesia, tapi kiper Lee Tae-hui-lah yang merana. Si pencetak gol, Evan Dimas, kemudian berlari gembira ke pojok lapangan sembari mengucapkan syukur di tengah derasnya hujan yang mengguyur Jakarta. Pertandingan semakin sengit di saat Korsel mampu menyamakan kedudukan lewat penalti Seol Tae-su satu menit setelahnya.
Guyuran hujan kemudian seakan membawa berkah bagi para pemain timnas U-19 ketika umpan tarik Maldini Pali diteruskan dengan aksi Evan Dimas yang menendang bola masuk ke gawang Korsel, 2-1 untuk Indonesia di menit ke-49. Euforia tercipta di 10 menit tersisa karena torehan ketiga Evan Dimas serta gol balasan dari Hu Meong-hwon membuat papan skor raksasa di SUGBK terpampang skor 3-2 untuk Indonesia.
Begitu peluit panjang wasit dibunyikan, para pemain Korsel terpana. Penggawa Garuda Jaya berpesta. Rasa haru pun pecah bersamaan dengan histeria puluhan ribu suporter dan jutaan penonton televisi nasional di seluruh pelosok negeri yang tumpah ruah setelah melihat perjuangan para talenta emas sepak bola Indonesia.
Gulita
Di malam itu, perjuangan timnas U-19 kembali membuktikan kepada kita bahwa jutaan anak bangsa dari Sabang hingga Merauke mempunyai potensi dan semangat besar dalam urusan mengangkat harkat martabat negara melalui sepak bola. Potensi yang selama ini terpendam karena berbagai masalah yang menerpa sepak bola Indonesia.
Pertanyaan besar kini, bagaimana nasib para pemain muda timnas U-19 setelah meraih kesuksesan itu? Jangan buru-buru terbuai jika pengurus sepak bola Indonesia berjanji untuk mengamankan talenta muda Indonesia. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat sistem kompetisi di negeri ini dulu yang mencerminkan ulah orang yang seharusnya mengurus sepak bola.
Maklum, berbicara nasib para pemain muda sejatinya tidak pernah lepas dari langkah para pengurus sepak bola itu merancang sistem kompetisi yang sehat dan mumpuni. Selain ukiran prestasi timnas U-19, sudah banyak juga bukti negeri ini telah diberkahi anugerah oleh Tuhan dengan talenta-talenta sepak bola berlimpah.
Teranyar, lihat saja, bagaimana wakil Indonesia di Danone Cup 2013 sukses menduduki peringkat ke delapan dari total 32 peserta. Belum lagi melihat anak-anak muda berjuang mengharumkan nama bangsa di Gothia Cup 2013 yang sukses menempati posisi kedua di level usia U-14.
Masalahnya, mengapa bibit-bibit unggul itu selalu seperti tenggelam jika sudah meninggalkan status kelompok umur untuk beralih ke jenjang senior yang hingga kini masih miskin prestasi?
Sejenak, mari kita tengok kesuksesan para pemain muda Indonesia ketika mampu meraih Piala Asia Yunior pada 1962 serta kegemilangan mereka meraih tiga gelar Piala Pelajar Asia berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.
Prestasi itu kemudian mampu berlanjut ke tingkat senior. Lihat saja bagaimana kehebatan Indonesia diakui oleh lawan-lawannya dalam turnamen Sea Games era 1980 hingga 1990-an. Medali emas turnamen terbesar se-Asia Tenggara itu pada 1987 dan 1991 pun berhasil digenggam tangan.
Sederet nama-nama besar seperti Ramang, Maulwi Saelan, Sutjipto Suntoro, Ronny Paslah, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Hery Kiswanto, Ricky Yacobi, dan sebagainya adalah bukti lainnya bahwa sepak bola Indonesia di level senior pernah ditakuti sejak 1950-an sampai awal 1990-an.
Namun, setelah emas terakhir di Manila, anomali prestasi terus menjamah kondisi sepak bola dalam negeri. Belum lagi, dengan adanya peleburan Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994 yang dianggap seperti jalan pintas, entah disadari atau tidak oleh para pengurus ketika itu, justru telah menimbulkan masalah besar bagi Indonesia.
Mau bukti? Tengoklah kondisi sepak bola Indonesia sejak digulirkannya liga tersebut. Bermula ketika klub-klub Galatama perlahan disingkirkan karena dianggap tidak profesional setelah dinilai gagal membangun basis suporter hingga ketergantungan klub-klub Perserikatan dengan APBD serta pemilihan pengurus-pengurus klub yang umumnya bersifat birokratis dan tidak profesional.
Setelah itu, kompetisi sepak bola Indonesia seakan bertransformasi menjadi ladang basah bagi pihak-pihak yang ingin mengincar keuntungan sesaat. Regulasi kompetisi diubah-ubah sedemikian rupa. Perencanaan keuangan menjadi tidak transparan. Sepak bola pun lebih sering menjadi komoditas politik untuk mendongkrak kepentingan para politisi ketimbang ajang pertarungan sehat di dalam lapangan demi secercah prestasi.
Alhasil, dari berbagai masalah tersebut, praktik pengaturan skor, pembinaan usia muda yang relatif tidak terjamah, pembangunan fasiltas sepak bola seadanya terus mencederai khitah olahraga yang dicintai oleh ratusan juta masyarakat Indonesia ini. Belum lagi, munculnya dugaan praktik korupsi para mafia sepak bola serta pengaruh kepentingan pengusaha-pengusaha besar dalam pusaran konflik para pengurus.
Aroma kepentingan non-sepak bola ini sebenarnya sudah tercium sejak lama. Ketika Indonesia masuk final Piala AFF 2010, misalnya, banyak pihak termasuk partai politik, saling mengklaim sebagai pihak yang berjasa. Ada yang mengundang tim makan bareng sebelum turnamen usai, entah dengan tujuan apa.
Di sisi lain, permasalahan kemudian tak jarang berimbas ke lapangan. Berkelahi, mengumpat wasit, hingga perkelahian antarsuporter adalah potret buram kondisi di kompetisi Indonesia. Secara tidak langsung hal itu pun pada akhirnya bermuara kepada mental para pesepak bola senior Indonesia, yang terkadang untuk latihan fisik saja sudah mengeluh dengan alasan yang mengada-ngada.
Doa
Melihat sejumlah fakta itu, rasanya pantas kita berpikir, di saat negara-negara Asia berlomba-lomba mengukir prestasi dengan kompetisi yang sehat dan mumpuni, Indonesia justru sempat mengalami sebuah kemunduran luar biasa karena ulah para pengurus sepak bola yang sudah mirip politisi ketimbang pamong olahraga sejati.
Prestasi sepak bola puluhan tahun lalu bisa berlanjut karena adanya kebesaran hati sejumlah pengurus yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain yang juga membuat daya juang pemain meningkat. Pengurus rela hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Pengurus juga dapat merancang kompetisi sepak bola ke khitahnya sebagai tempat pengembangan sepak bola akar rumput.
Meskipun kini konflik antarpengurus sudah selesai. Itu belum berarti benang kusut sepak bola Indonesia sudah terurai. Perlu ada kebesaran hati dari para pengurus atau pemangku kepentingan sepak bola untuk membenahi sistem kompetisi yang dapat menjadi wadah para talenta-talenta muda Indonesia berkiprah. Kompetisi sehat yang tidak mengubah arti kata profesional menjadi salah kaprah.
Salah kaprah yang terjadi karena buruknya kualitas kompetisi. Salah kaprah yang tercermin dari masih banyaknya pemain dan pelatih yang tidak digaji. Salah kaprah karena tidak ada upaya memberantas adanya praktik mafia serta membenahi buruknya kinerja perangkat pertandingan PSSI.
Padahal, jika program pembinaan kompetisi mampu menyinergikan perbaikan sejumlah masalah itu dengan fasilitas memadai, pendidikan karakter, dan visi ke depan untuk membenahi level tingkat umur, kebangkitan sepak bola bisa terus diraih. Kebangkitan sejatinya dapat dicapai dengan pembinaan panjang usia muda, bukan dari strategi para pengurus untuk mencari keuntungan pribadi semata.
Kini, anggap saja kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan adalah jawaban Tuhan atas doa ratusan juta masyarakat Indonesia yang sudah sangat lama merindukan prestasi sepak bola. Anggap saja kesuksesan itu juga berasal dari keikhlasan seorang Indra Sjafri yang rela blusukan mencari bakat-bakat terpendam di seluruh pelosok negeri meski terkadang harus merogoh kocek sendiri.
Seluruh pengurus dan pemangku kepentingan sepak bola di negeri ini harus sadar betul, sudah lama sekali rakyat Indonesia tidak merasakan kenikmatan menyaksikan permainan cantik timnas di lapangan. Sudah lama sekali masyarakat tidak merasakan bulu kuduk berdiri melihat anak negeri menegakkan kepala sembari mengibarkan Merah Putih di podium kemenangan sepak bola.
Kerinduan itu memang sudah sedikit terobati dengan hasil peluh keringat generasi emas sepak bola Indonesia yang jatuh dari setiap tubuh para pemain skuad Garuda Jaya. Akan tetapi, semoga saja jerih payah 22 anak bangsa itu dapat dihargai dengan semestinya sehingga kilauan talenta emas mereka tidak kembali meredup di tengah gelap gulitanya kompetisi sepak bola InDONESIA.
Langganan:
Postingan (Atom)