GENERASI emas yang hilang itu telah datang kembali. Ibu Kota Jakarta
bernyanyi-nyanyi, Indonesia kemudian tertawa sambil menari-nari. Begitu
juga dengan hiruk pikuk suporter dan 22 anak bangsa yang larut dalam
kesenangan di bawah atap Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Di
berbagai pelosok Indonesia, waktu seakan berputar kembali menuju
puluhan tahun lalu. Gambar-gambar Evan Dimas dan kawan-kawan muncul di
mana-mana. Wajah mereka kemudian terpampang di seluruh halaman depan
surat kabar nasional. Sama seperti ketika Indonesia sukses menjelma
menjadi Macan Asia yang fenomenal.
"Sekarang kalian semua bisa
menikmati kemenangan ini." Begitu kata pelatih Indra Sjafri seusai
membawa timnas U-19 mengalahkan juara bertahan Korea Selatan 3-2 dalam
lanjutan kualifikasi Grup G Piala Asia U-19 di SUGBK pada Sabtu
(12/10/2013).
Kemenangan itu membawa Indonesia kembali
berkesempatan untuk mendulang prestasi yang telah lama mati suri.
Setelah sukses meraih gelar Piala AFF U-19 2013, Indonesia lolos ke
putaran final Piala Asia dengan status juara grup dan tidak terkalahkan
dari tiga pertandingan yang dilakoninya.
Meskipun ketika itu
lawannya adalah Korsel, yang berstatus salah satu raksasa Asia, timnas
U-19 tidak gentar. Mereka tetap berusaha untuk berjuang sekuat tenaga
dengan diiringi doa ratusan juta rakyat yang masih haus akan prestasi
sepak bola. Di mata mereka, semua lawan sama. Di hati mereka, tertanam
keinginan teguh untuk menghidupkan kembali gairah penikmat sepak bola
Indonesia.
Emas
Pukul 19.15 malam, dengan hati berdebar, sorotan mata Evan Dimas dan
kawan-kawan menatap tajam ke arah lapangan. Maklum, meski tuan rumah,
Indonesia memang bukan lagi raksasa Asia. Namun, tapak kaki mereka satu
per satu tetap melangkah gagah menyusuri lorong pemain dengan diiringi
gegap gempita dukungan dari puluhan ribu suporter Indonesia yang sudah
memadati SUGBK.
Dua tim kemudian berbaris di dalam lapangan.
Lagu nasional Korsel menggema lebih dulu. Giliran Indonesia, seluruh
suporter tampak bersemangat menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Di tengah
tribun, berkibar bendera Merah Putih raksasa. Para pemain pun dengan
khidmat menyanyikan lagu sambil meletakkan tangan di dada.
Begitu
peluit dibunyikan wasit Mohammad Amirul Izwan asal Malaysia, para
pemain Indonesia seakan menunjukkan kemampuan tersembunyinya. Gebrakan
para penggawa skuad Garuda Jaya membuat permainan Korsel sempat dilanda
ketegangan, dan Indonesia terlihat sukses membuat sang juara bertahan
turun satu kelas.
Menit ke-30, gol! Bukan ke gawang Indonesia,
tapi kiper Lee Tae-hui-lah yang merana. Si pencetak gol, Evan Dimas,
kemudian berlari gembira ke pojok lapangan sembari mengucapkan syukur di
tengah derasnya hujan yang mengguyur Jakarta. Pertandingan semakin
sengit di saat Korsel mampu menyamakan kedudukan lewat penalti Seol
Tae-su satu menit setelahnya.
Guyuran hujan kemudian seakan
membawa berkah bagi para pemain timnas U-19 ketika umpan tarik Maldini
Pali diteruskan dengan aksi Evan Dimas yang menendang bola masuk ke
gawang Korsel, 2-1 untuk Indonesia di menit ke-49. Euforia tercipta di
10 menit tersisa karena torehan ketiga Evan Dimas serta gol balasan dari
Hu Meong-hwon membuat papan skor raksasa di SUGBK terpampang skor 3-2
untuk Indonesia.
Begitu peluit panjang wasit dibunyikan, para
pemain Korsel terpana. Penggawa Garuda Jaya berpesta. Rasa haru pun
pecah bersamaan dengan histeria puluhan ribu suporter dan jutaan
penonton televisi nasional di seluruh pelosok negeri yang tumpah ruah
setelah melihat perjuangan para talenta emas sepak bola Indonesia.
Gulita
Di malam itu, perjuangan timnas U-19 kembali membuktikan kepada kita
bahwa jutaan anak bangsa dari Sabang hingga Merauke mempunyai potensi
dan semangat besar dalam urusan mengangkat harkat martabat negara
melalui sepak bola. Potensi yang selama ini terpendam karena berbagai
masalah yang menerpa sepak bola Indonesia.
Pertanyaan besar
kini, bagaimana nasib para pemain muda timnas U-19 setelah meraih
kesuksesan itu? Jangan buru-buru terbuai jika pengurus sepak bola
Indonesia berjanji untuk mengamankan talenta muda Indonesia. Sebelum
menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat sistem kompetisi di
negeri ini dulu yang mencerminkan ulah orang yang seharusnya mengurus
sepak bola.
Maklum, berbicara nasib para pemain muda sejatinya
tidak pernah lepas dari langkah para pengurus sepak bola itu merancang
sistem kompetisi yang sehat dan mumpuni. Selain ukiran prestasi timnas
U-19, sudah banyak juga bukti negeri ini telah diberkahi anugerah oleh
Tuhan dengan talenta-talenta sepak bola berlimpah.
Teranyar,
lihat saja, bagaimana wakil Indonesia di Danone Cup 2013 sukses
menduduki peringkat ke delapan dari total 32 peserta. Belum lagi melihat
anak-anak muda berjuang mengharumkan nama bangsa di Gothia Cup 2013
yang sukses menempati posisi kedua di level usia U-14.
Masalahnya,
mengapa bibit-bibit unggul itu selalu seperti tenggelam jika sudah
meninggalkan status kelompok umur untuk beralih ke jenjang senior yang
hingga kini masih miskin prestasi?
Sejenak, mari kita tengok
kesuksesan para pemain muda Indonesia ketika mampu meraih Piala Asia
Yunior pada 1962 serta kegemilangan mereka meraih tiga gelar Piala
Pelajar Asia berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.
Prestasi
itu kemudian mampu berlanjut ke tingkat senior. Lihat saja bagaimana
kehebatan Indonesia diakui oleh lawan-lawannya dalam turnamen Sea Games
era 1980 hingga 1990-an. Medali emas turnamen terbesar se-Asia Tenggara
itu pada 1987 dan 1991 pun berhasil digenggam tangan.
Sederet
nama-nama besar seperti Ramang, Maulwi Saelan, Sutjipto Suntoro, Ronny
Paslah, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Hery Kiswanto, Ricky Yacobi,
dan sebagainya adalah bukti lainnya bahwa sepak bola Indonesia di level
senior pernah ditakuti sejak 1950-an sampai awal 1990-an.
Namun,
setelah emas terakhir di Manila, anomali prestasi terus menjamah kondisi
sepak bola dalam negeri. Belum lagi, dengan adanya peleburan
Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994 yang
dianggap seperti jalan pintas, entah disadari atau tidak oleh para
pengurus ketika itu, justru telah menimbulkan masalah besar bagi
Indonesia.
Mau bukti? Tengoklah kondisi sepak bola Indonesia
sejak digulirkannya liga tersebut. Bermula ketika klub-klub Galatama
perlahan disingkirkan karena dianggap tidak profesional setelah dinilai
gagal membangun basis suporter hingga ketergantungan klub-klub
Perserikatan dengan APBD serta pemilihan pengurus-pengurus klub yang
umumnya bersifat birokratis dan tidak profesional.
Setelah itu,
kompetisi sepak bola Indonesia seakan bertransformasi menjadi ladang
basah bagi pihak-pihak yang ingin mengincar keuntungan sesaat. Regulasi
kompetisi diubah-ubah sedemikian rupa. Perencanaan keuangan menjadi
tidak transparan. Sepak bola pun lebih sering menjadi komoditas politik
untuk mendongkrak kepentingan para politisi ketimbang ajang pertarungan
sehat di dalam lapangan demi secercah prestasi.
Alhasil, dari
berbagai masalah tersebut, praktik pengaturan skor, pembinaan usia muda
yang relatif tidak terjamah, pembangunan fasiltas sepak bola seadanya
terus mencederai khitah olahraga yang dicintai oleh ratusan juta
masyarakat Indonesia ini. Belum lagi, munculnya dugaan praktik korupsi
para mafia sepak bola serta pengaruh kepentingan pengusaha-pengusaha
besar dalam pusaran konflik para pengurus.
Aroma kepentingan
non-sepak bola ini sebenarnya sudah tercium sejak lama. Ketika Indonesia
masuk final Piala AFF 2010, misalnya, banyak pihak termasuk partai
politik, saling mengklaim sebagai pihak yang berjasa. Ada yang
mengundang tim makan bareng sebelum turnamen usai, entah dengan tujuan apa.
Di
sisi lain, permasalahan kemudian tak jarang berimbas ke lapangan.
Berkelahi, mengumpat wasit, hingga perkelahian antarsuporter adalah
potret buram kondisi di kompetisi Indonesia. Secara tidak langsung hal
itu pun pada akhirnya bermuara kepada mental para pesepak bola senior
Indonesia, yang terkadang untuk latihan fisik saja sudah mengeluh dengan
alasan yang mengada-ngada.
Doa
Melihat sejumlah fakta itu, rasanya pantas kita berpikir, di saat
negara-negara Asia berlomba-lomba mengukir prestasi dengan kompetisi
yang sehat dan mumpuni, Indonesia justru sempat mengalami sebuah
kemunduran luar biasa karena ulah para pengurus sepak bola yang sudah
mirip politisi ketimbang pamong olahraga sejati.
Prestasi sepak
bola puluhan tahun lalu bisa berlanjut karena adanya kebesaran hati
sejumlah pengurus yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain yang juga
membuat daya juang pemain meningkat. Pengurus rela hanya menerima
honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Pengurus juga
dapat merancang kompetisi sepak bola ke khitahnya sebagai tempat
pengembangan sepak bola akar rumput.
Meskipun kini konflik
antarpengurus sudah selesai. Itu belum berarti benang kusut sepak bola
Indonesia sudah terurai. Perlu ada kebesaran hati dari para pengurus
atau pemangku kepentingan sepak bola untuk membenahi sistem kompetisi
yang dapat menjadi wadah para talenta-talenta muda Indonesia berkiprah.
Kompetisi sehat yang tidak mengubah arti kata profesional menjadi salah
kaprah.
Salah kaprah yang terjadi karena buruknya kualitas
kompetisi. Salah kaprah yang tercermin dari masih banyaknya pemain dan
pelatih yang tidak digaji. Salah kaprah karena tidak ada upaya
memberantas adanya praktik mafia serta membenahi buruknya kinerja
perangkat pertandingan PSSI.
Padahal, jika program pembinaan
kompetisi mampu menyinergikan perbaikan sejumlah masalah itu dengan
fasilitas memadai, pendidikan karakter, dan visi ke depan untuk
membenahi level tingkat umur, kebangkitan sepak bola bisa terus diraih.
Kebangkitan sejatinya dapat dicapai dengan pembinaan panjang usia muda,
bukan dari strategi para pengurus untuk mencari keuntungan pribadi
semata.
Kini, anggap saja kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan
adalah jawaban Tuhan atas doa ratusan juta masyarakat Indonesia yang
sudah sangat lama merindukan prestasi sepak bola. Anggap saja kesuksesan
itu juga berasal dari keikhlasan seorang Indra Sjafri yang rela blusukan mencari bakat-bakat terpendam di seluruh pelosok negeri meski terkadang harus merogoh kocek sendiri.
Seluruh
pengurus dan pemangku kepentingan sepak bola di negeri ini harus sadar
betul, sudah lama sekali rakyat Indonesia tidak merasakan kenikmatan
menyaksikan permainan cantik timnas di lapangan. Sudah lama sekali
masyarakat tidak merasakan bulu kuduk berdiri melihat anak negeri
menegakkan kepala sembari mengibarkan Merah Putih di podium kemenangan
sepak bola.
Kerinduan itu memang sudah sedikit terobati dengan
hasil peluh keringat generasi emas sepak bola Indonesia yang jatuh dari
setiap tubuh para pemain skuad Garuda Jaya. Akan tetapi, semoga saja
jerih payah 22 anak bangsa itu dapat dihargai dengan semestinya sehingga
kilauan talenta emas mereka tidak kembali meredup di tengah gelap
gulitanya kompetisi sepak bola InDONESIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar